Kamis, 23 Oktober 2008

Bersama Allah di Setiap Relung Napas Kehidupan

Ketakwaan kepada Allah pasti akan mendatangkan rizqi. Karena itu, meninggalkan ketakwaan pasti akan mendatangkan kefakiran (Ibnu Qoyyim al Jauziah). Mari kita renungi sejenak untaian kalimat dari Ibnu Qayyim ra ini. Siapapun kita, dari manapun kita berasal, kaya, miskin, harusnya bisa menyelami makna kata-kata hikmah sebagai peringatan dan teguran.
Segala kehidupan ini intinya ada pada takwa. Ketakwaanlah yang menjadikan kita merasa cukup meski mungkin saja harta yang kita miliki tidak melimpah. Ketakwaanlah yang menjadikan semua yang kita miliki, nikmati, diberkahi oleh Allah Azzawajallah. Ketakwaanlah yang menjadikan hidup berjalan stabil. Meski uang atau kemampuan materi kita kurang dari kebutuhan.
Saudaraku,
Mari pelihara dan tingkatkan taqwa kita dengan mendekati Allah. Tetapkan hati untuk menambah waktu yang tidak lama untuk berdiri melaksanakan sholat sunnah. Kuatkan azzam(komitmen) dan kesungguhan untuk mau membuka dan membaca kalam Allah, di tengah kesibukan apapun yang kita lewati. Gerakan bibir lebih banyak berdzikir, beristigfar, dan memuji Allah swt. Lawan untuk puas beristirahat di waktu sebelum fajar. Berwudhu dan bermunajatlah kepada Allah. Karena detik-detik mahal yang sangat kita perlukan sebagai energi memperkuat ketakwaan kita pada hari itu.
Ibnu Qayyim pernah bercerita tentang gurunya Ibnu Taimiyah ra ketika setelah melaksanakan sholat shubuh ia tidak segera keluar dari masjid melainkan untuk duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit. Ketika ditanya soal itu, Ibnu Taimiyah menjawab dengan untaian kata mutiara hikmah. Katanya, ”Ini adalah sarapanku, kalau aku tidak sarapan maka kekuatanku akan melemah”.(Wabil Ashabil: 44)
Begitulah kebutuhan seorang mukmin terhadap ketakwaan, berdzkikr, beristigfar dalam rangka membangun ketaatan kepada Allah swt. Kedekatan diri kepada Allah bukan hanya menjamin rizqi seseorang tetapi, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah menambah kekuatan fisiknya. Ali bin Abi Thalib ra menyimpulkan tiga keadaan bagi orang yang melakukan kemaksiatan. Balasan dari kemaksiatan adalah rasa lemah dalam ibadah, kesempitan dalam mencari penghidupan, kesulitan dalam kelezatan. Seseorang menanyakan apa yang dimaksud dengan kesulitan dalam kelezatan. Imam Ali menjawab ”Orang itu tidak akan merasakan kenikmatan yang halal.”(Tafsir Ibnu Katsir 3/533)
Saudaraku,
Jika kita adalah orang yang bertekad untuk berada di jalan Allah. Jika kita termasuk kelompok yang ingin berjuang menegakkan ajaran-Nya. Jika kita tergolong orang-orang yang termasuk mendambakan kehidupan yang tentram dan damai dalam naungan Allah Azzawajallah kita akan banyak mengalami banyak ujian, problematika, masalah, dan kesulitan. Tanpa ada kekuatan untuk bersandar niscaya kita tidak akan mampu mengatasinya dan tidak akan bisa melewati ujian yang menimpa kita.
Kemiskinan, musibah, tekanan, penderiatan baik fisik dan batin adalah bagian ujian dari Allah bagi hambanya yang berjalan di atas ajaran-Nya. Sementara bekal keimanan dan ketakwaan adalah bekal yang bisa menjadikan seseorang kuat dan tetap kembali kepada Allah. Maka, sekali lagi bersama-sama melangkah untuk senantiasa mendekati Allah swt. Kembali kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya adalah kunci lepas dari segala kesulitan. Rosulullah pernah bersabda ketika keluarganya mengalami kesulitan makan dengan menyatakan,” keluargaku... sholatlah...sholatlah..” (Fathul Qadir, Asy Syaukani, 3/396)
Berusahalah untuk tetap bersama Allah dengan memelihara hak-hak Allah dikala senang maupun dikala susah. Maka pasti Allah akan mengingat kita ketika kita mengalami kesulitan dan membutuhkan pertolongan-Nya. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa hamba yang taat dan berdzikir kepada Allah, atau ia meminta pertolongan kepada Allah, maka para malaikat berkata : ”Ya Rabb ini adalah suara yang sudah dikenal dari hamba yang sudah dikenal.” tetapi bila ada orang yang lalai dan mengingkari perintah Allah berdoa maka para malaikat berkata, ”Ya Rabb suara yang biasa mengingkari dari hamba yang mengingkari.”(Al Wabil Shoib, 44).
Saudaraku
Inilah saatnya untuk segera berusaha sekuat tenaga untuk mendekakan diri kepada Allah. Menggapai ketakwaan dan keimananan kepada Allah di bulan Ramadhan yang penuh barokah ini. Bulan terbaik di antara bulan-bulan. Segala pahala dilipatgandakan. Bulan yang mengantarkan kita ke Syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Yaa aiyuhannafsul mutmainnah irji’i ila robbiki fadhuli fiibadi wadhuli jannahti. Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu. Maka masuklah ke syurga-Ku.

By Welman Hadi
Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97).
Allah telah menciptakan alam dan isinya berpasang-pasangan, sehingga melahirkan hukum tarik menarik antara satu dengan yang lainnya. Artinya kondisi alam ini akan selalu dinamis sesuai dengan kehendak-Nya. Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia, akan mengalami rotasi (perputaran) antara di bawah-di atas; sukses-tidak sukses; bahagia-susah, dll. Begitu juga dengan iman kita. Iman bisa datang dan pergi, naik dan turun.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Sesungguhnya jiwa manusia itu mempunyai saat dimana ia ingin beribadah dan ada saat dimana enggan beribadah.” Di antara dua keadaan itulah manusia menjalani kehidupan ini. Dan di antara dua keadaan itu pula nasib manusia ditentukan.
Dalam arti lain, semakin seseorang berada dalam iman yang rendah, maka besar kemungkinan dalam kondisi ini akan mengakhiri hidupnya. Demikian sebaliknya, jika seseorang semakin sering berada pada kondisi iman yang tinggi, maka semakin besar peluangnya memperoleh akhir kehidupan yang baik. Pertanyaannya, bagaimana cara mewujudkan kondisi pribadi yang berujung kebaikan, pribadi yang pantang menyerah tersebut?
Pribadi pantang menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya. Ia yakin betul bahwa sekenario Allah itu tidak akan meleset sedikit pun.
Pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, tidak lain adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bersyukur apabila ia mendapat sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesuksesan, medapat rezeki, dll. Sebaliknya, jika ia mendapati sesuatu yang tidak diharapkannya, entah itu berupa kesedihan, kegagalan, mendapat bala bencana, dll., maka ia memiliki ketahanan untuk selalu bersabar. Dan pribadi seperti ini memposisikan setiap kejadian yang menimpanya adalah atas ijin dan kehendak Allah. Ia pasrah dan selalu berusaha untuk bangkit dengan cara mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut.
Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat.
Seseorang menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal, karena ia berbuat gagal. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang menyebutkan bahwa: “Orang mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih baik dari mukmin yang lemah.” Jadi, manusia tangguh dam kuat itu, sudah seharusnya menjadi cita-cita kita dalam rangka mengabdi kepada Allah.
Dalam konteks ini, dapat disebutkan bahwa kesuksesan menurut pandangan Alquran itu memiliki dua syarat pokok. Yakni iman dan ilmu (QS. 58: 11). Kedua hal ini, kalau kita kaji secara rinci, jelas-jelas memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia.
Dengan kuatnya iman seseorang, maka ia akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Menurut M. Ridwan IR Lubis (1985), ada tiga pengaruh iman tersebut, yaitu berupa: kekuatan berpikir (quwatul idraak), kekuatan fisik (quwatul jismi), dan kekuatan ruh (quwatur ruuh).
Sedangkan menurut M. Yunan Nasution (1976), mengungkapkan pengaruh iman terhadap kehidupan manusia itu berupa: iman akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda; menanamkan semangat berani menghadapi maut; membentuk ketentraman jiwa; dan membentuk kehidupan yang baik.
Untuk mencapai dampak dari kekuatan iman itu, kuncinya terletak pada pribadi kita masing-masing. Dan kalau kita cermati, sebenarnya pembentukan sifat pribadi pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikir orang tersebut.
Menyikapi keadaan seperti saat ini, kita seharusnya tidak menjadi pesimis dan berserah diri. Kita harus optimis dan selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidup ini. Sehingga untuk menjadikan pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, maka dalam diri kita harus tertanam sikap optimis, berpikir positif, dan percaya diri.
Setiap manusia harus memiliki optimisme dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sikap optimis, langkah kita akan tegar menghadapi setiap cobaan dan menatap masa depan penuh dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Karena garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan-Nya. Tugas kita adalah hanya berusaha, berpikir dan berdoa agar sesuai dengan ridho-Nya.
Setelah kita mampu bersikap optimis, lalu pola pikir kita juga harus dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Berpikir positif kepada siapa? Pertama, berpikir positif kepada Allah. Setiap kejadian, peristiwa dan fenomena kehidupan ini pasti ada sebab musababnya. Tugas kita, hanya berpikir dan membaca. Ada apa dibalik semua itu? Lalu, kita mengambil pelajaran dari kejadian itu dan selanjutnya mengamalkan yang baiknya dalam perilaku keseharian.
Kedua, berpikir positif terhadap diri sendiri. Setiap manusia, dilahirkan sebagai pribadi yang unik. Karena bagaimanapun wajah dan sifat kita mirip dengan orang lain. Tapi, yang jelas ada saja perbedaan antara keduanya.
Sifat dan pribadi unik itu, harus kita jaga. Itu adalah potensi positif, modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita menuju ridho-Nya. Bagaimana orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri meremehkan dan tidak “mengangkatnya”.
Selain itu, kita juga harus yakin bahwa kita dilahirkan ke dunia ini sebagai sang juara, the best. Fakta membuktikan, dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Bapak kita, tetapi ternyata yang mampu menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi, hanya satu. Itulah kita, “sang juara”. Hal ini, kalau kita sadari akan menjadi sebuah motivasi luar biasa dalam menjalani hidup ini.
Ketiga, berpikir positif pada orang lain. Orang lain itu, manusia biasa sama dengan kita. Dia mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Yang tentu hati nuraninya tidak menghendakinya. Pandanglah, orang lain itu dari sisi positifnya saja dan menerima sisi negatifnya sebagai pelajaran bagi kita.
Belajarlah dari seekor burung Garuda. Ia mengajarkan anaknya untuk terbang dari tempat yang tinggi dan menjatuhkannya. Lalu jatuh, diangkat lagi dan seterusnya sampai ia bisa terbang sendiri. Hati Garuda juga bersih, tidak mendendam. Ia kalau waktunya bermain “cakar-cakaran”. Tapi, kalau di luar itu ia akur, damai kembali.
Keempat, berpikir positif pada waktu. Setiap manusia diberi waktu yang sama, dimana pun dia berada. Sebanyak 24 jam sehari atau 86.400 detik sehari. Waktu itu, ingin kita apakan? Kita gunakan untuk tidur seharian, kerja keras, mengeluh, berdemontrasi, bergunjing, santai, menuntut ilmu, menolong orang lain, melamun, ibadah, dan lainnya. Waktu itu tidak akan protes.
Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggung jawabannya kelak, di hadapan Allah SWT. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan amal-amalan saleh dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Allah berfirman, yang artinya: “Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97).
Untuk memaksimalkan sikap positif pada diri seseorang, lebih-lebih sebagai pembentuk pribadi yang pantang menyerah, tangguh, “tahan banting”, sabar dan istiqomah pada jalan-Nya. Tentu perlu dibagun pula dengan kebiasaan positif.
Semoga tulisan ini menjadi bahan penilaian terhadap diri kita sendiri, terutama kaitannya dengan keinginan pembentukan pribadi yang pantang menyerah. Dan kita berdoa, semoga Allah memberi kemampuan terhadap kita untuk membangun pribadi yang tangguh dan pantang menyerah sesuai tuntutan-Nya. Amin. Wallahu a’lam.
***
Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail: arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com